KAMPUNG ARAB DI PASAR KLIWON
Pasar kliwon. Kita tidak asing lagi dengan daerah tersebut. Salah satu kecamatan di tenggara Kota Surakarta itu terkenal sebagai tempat perkampungan keturunan Arab-Indonesia. Karena tempatnya yang strategis, Pasar Kliwon berbatasan dengan daerah-daerah seperti; bagian utara: Kecamatan Jebres, bagian timur: Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Bengawan Solo, bagian selatan: Kecamatan Grogol, Sukoharjo dan Kecamatan Serengan, dann bagian barat: Kecamatan Serengan dan Kecamatan Banjarsari.
Mengapa bisa disebut Pasar Kliwon? Konon, dulunya merupakan tempat penjualan kambing yang ramai ketika pasaran kliwon. Dan daerah ini bisa menjadi perkampungan Arab karena pada jaman penjajahan Belanda, orang Arab dkategorikan penduduk Timur Asing dalam structural masyarakat colonial, dan mereka diwajibkan tinggal dalam suatu daerah khusus yang telah ditentukan dan dipimpin oleh seorang kapiten. Tindakan ini dilakukan bertujuan agar mereka tidak membahayakan serta mudah diawasi oleh Pemeritahan Hindia Belanda yang ketakutan terhadap Islam dan keturunan Arab.
Orang-orang Arab itu masuk dan mendiami daerah tersebut dengan beberapa tujuan. Diantaranya adalah untuk menyebarkan agama Islam dan berdagang. Yang datang ke Indonesia kebanyakan adalah dari kaum laki-laki. Mereka membawa dagangan mereka dari sana dan dijajakan untuk kaum pribumi. Kebanyakan dari mereka menetap di Indonesia dan menikahi orang-orang pribumi. Tujuan dari perkawinan tersebut tidak hanya sekadar menikah pada umumnya. Namun, bertujuan juga menyebarkan agama Islam. Dari situ, para kaum wanita otomatis masuk Islam karena suami mereka adalah orang Islam. Dari perkawinan tersebut maka akan menghasilkan keturunan-keturunan yang beragama Islam. Dan keturunan-keturunan itulah yang kini dapat kita jumpai, salah satunya di Pasar Kliwon.
Dari info yang didapat, di Pasar Kliwon kita dapat menjumpai dua jenis orang Arab. Yang pertama adalah keturunan Sayyidina Hasan Husen dan yang kedua adalah keturunan dari cucu Rasulullah yang lain. Golongan yang pertama tadi adalah yang selama ini kita sebut sebagai Habaib. Golongan ini sangat memperhatikan garis keturunan mereka. Karena setiap kali ada bayi yang baru lahir maka harus didaftarkan di Rabithah. Rabithah ini adalah yang mencatat keturunan-keturunan dari Rasulullah yang ada di Indonesia dan pusatnya di Jakarta. Setiap selesai mendaftar di Rabithah maka akan mendapatkan buku yang isinya nama-nama seluruh kakek nenek mereka. Kakek dari kakek, nenek dari nenek. Maka setiap orang yang ada di golongan mereka akan mengingat betul garis keturunan mereka hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Dari kedua golongan tadi sangat terlihat sehingga mudah dibedakan.
Adapun kehidupan masyarakat disana yang masih banyak memegang erat kebudayaan leluhurnya. Kita sering menjumpai toko-toko yang menjual kurma, kebutuhan haji, dan sejenisnya. Mereka berdagang semacam itu adalah untuk meneruskan usaha nenek moyang mereka. Tapi ada pula masyarakat modern yang mengikuti perkembangan di Indonesia sehingga tidak semuanya mengikuti tradisi leluhurnya.
Dilihat dari sudut pandang penjualan tersebut, maka dapat dilihat bahwa sudah banyak perubahan yang ada dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon. Seperti halnya kehidupan kesehariannya, mereka sudah mulai dapat membaur dengan oraang-orang pribumi. Cara bersosialisasi mereka sudah tidak terlalu kolot (tidak moderen). Tetapi juga tetap masih ada satu dua yang tetap kokoh dengan kebudayaan asli mereka tanpa tercampur oleh kebudayaan yang ada.
Kebudayaan Arab yang dibicarakan disini adalah cara mereka bersosialisasi misalnya. Orang Arab itu terkenal bahwa anak gadis itu akan dijaga benar-benar. Tidak boleh asal bergaul, harus selalu dirumah, selalu taat kepada orang tua mereka. Gadis Arab biasanya hanya berada didalam rumah. Kebanyakan dari mereka tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Bagi mereka, bisa bersekolah saja itu sudah termasuk beruntung. Apalagi di ijinkan untuk masuk ke perguruan tinggi.
Pergaulan mereka sangat dibatasi oleh orang tua mereka. Diantara mereka ada yang bisa kenal bahkan dekat dengan laki-laki bukan muhrim itu adalah sebuah keganjilan. Karena mereka rata-rata di sekolahkan di Yayasan Diponegoro yang di dalam kelasnya itu terpisah antara laki-laki dengan perempuan. Kehidupan mereka memang sudah terbiasa seperti itu. Semisal di jalan, berpapasan dengan laki-laki bukan muhrim mereka, kemudian mereka menyapa terlebih dahulu kepada laki-laki tersebut, itu akan dipergunjingkan dari kelompok mereka. Karena menurut mereka itu adalah adab yang tidak baik.
Tetapi tetap saja, tidak semua keturunan Arab disana diperlakukan seperti itu. Adapula yang sudah mulai menerima arus globalisai yang semakin deras ini. Dimana hampir tidak ada lagi sekat antara laki-laki. Bagi anak-anak gadis yang beruntung dapat merasakan bangku kuliah, hal semacam itu sudah tak asing lagi bagi mereka. Karena bagaimana mungkin dalam perkuliahan akan ada batasan antara laki-laki dengan wanita. Mengerjakan tugas saja bisa jadi mereka harus satu kelompok sehingga sangat lazim jika terjadi kontak social yang lebih dari biasanya. Apalagi jika di dalam perkuliahan, mereka akan menjadi satu dalam kelas tanpa sekat.
Terlebih dari itu, di daerah Pasar Kliwon masih memegang erat budaya-budaya leluhur mereka seperti acara-acara besar yang hampir seluruh muslim mengetahuinya, yaitu Haul. Di Pasar Kliwon sendiri banyak sekali perayaan Haul. Contohnya adalah Haul Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi. Setiap perayaannya pasti akan sangat banyak kaum muslim yang membanjiri Alun-alun Kidul. Dan juga masih menjaga tradisi seperti pembacaan maulid dan kajian-kajian yang dibuka untuk umum maupun kalangan ketururan-keturunannya saja. Masyarakat disana sangat erat mempertahankan kebudayaan- kebudayaan mereka sebagai tanda rasa khidmad dan hormat masyarakat tersebut kepada para leluhur tanpa mengurangi rasa syukur mereka terhadap Allah SWT.
Di daerah Pasar Kliwon terdapat makam-makam para ulama besar yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran agama islam di dunia terkhusus di Indonesia sendiri. Karena itu di Pasar Kliwon tak sedikit kita jumpai turis-turis mancanegara yang sengaja datang untuk sekedar berziarah ke makam para ulama yang terdapat di daerah tesebut.
Di Pasar Kliwon terdapat beberapa marga yang bisa kita jumpai misal marga Assegaf, Al Jufri, Al-habsyi, Al-Idrus dan lain-lain. Dan terdapat makam ulama besar yang sudah dijelaskan diatas, seperti makam Habib Alwi Al-Habyi, Habib Ahmad bin Alwi bin Ali Al-habsyi dan Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi. Makam-makam tersebut tak pernah sepi dari peziarah.
Akan kita jumpai juga ketika kita berkunjung ke Pasar Kliwon jika kita berdialog dengan masyarakat Arab akan sedikit berbeda dengan kita berinteraksi dengan masyarakat solo pada umumnya. Misalnya ketika menanyakan kabar “ ahlan! Bekheer?” yang artinya adalah halo apa kabarmu? Baikbaik saja? Jika kita mendengarnya kita akan merasakan sedikit asing di telinga. Dan bahasa itu adalah bahasa Arab akan tetapi bahasa benturan budaya etnis Arab dan Jawa di lingkungan Pasar Kliwon Solo. Dialek ini dikenal dengan julukan Dialek Khas Medok.
Di sekitar makam terdapat toko-toko yang menjual perlengkapan haji, barang-barang khas dari Arab. Seperti kurma, air zam-zam, Abaya, dll. Terdapat juga masjid yang sangat terkenal dan menjadi icon dari Pasar Kliwon. Yaitu masjid Assegaf dan masjid Riyadh. Dan terdapat pula Rumah Sakit Kustati. Tak luput dari itu, disana juga ada yayasan pendidikan yang sangat terkenal : Yayasan Diponegoro.
Tak jarang juga ditemukan warung makan atau restoran-restoran yang menjual makanan-makanan khas Timur Tengah. Salah satunya yang terkenal disana adalah restoran Marakez. Ketika kita memasuki restoran tersebut, maka akan terasa begitu kental budaya-budaya Timur Tengah. Lantunan musik dan irama padang pasir akan terdengar ketika memasukinya. Berlantaikan keramik khas Maroko semakin mengesankan suasana ala khas Timur Tengah. Dekorasi-dekorasinya yang menggunakan huruf Arab seakan membawakan atmosfer yang berbeda dari ruangan itu. Terlebih lagi ketika kita memilih untuk duduk dalam ruangan lesehan khas Arab atau jalsah.
Pemilik restoran Marakez mengatakan bahwa sajian makanan ala Timur Tengah yang disajikan sudah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Rasanya pun sudah tidak terlalu kental dengan bumbu dan rempah-rempah seperti makanan aslinya. Tentu kita yang memiliki lidah Indonesia akan mudah menerima rasa makanan khas Timur Tengah itu dengan tanpa terkurangi keunikan rasanya. Misalnya adalah masakan yang sangat terkenal dan yang kerap diburu yaitu Nasi Kebuli.
Disana juga ada tradisi yang masih kental dengan kebudayaan Arab, yaitu Tradisi Marawis. Marawis muncul di Pasar Kliwon sudah sejak tahun 1970-an. Masuknya ke Pasar Kliwon adalah dibawa oleh para Ulama dari komunitas Arab. Akan tetapi pada masa itu, tidak dapat berkembang dengan baik. Marawis digunakan sebagai salah satu metode dakwah karena pada msasa itu, masyarakat lebih mudah menerima ajaran syariat Islam melalui iringann music daripada diberi nasihat secara langsung.
Marawis mulai ramai dimainkan sejak tahun 1998. Seperti dalam acara-acara Haul yang dihadiri oleh masyarakat dan bukan keturunan Arab. Dari situlah mereka mengenal Marawis. Keberadaan Marawis semakin nampak ketika adanya Ahbabul Muhtar pada tahun 1998. Sebelum terbentuknya Ahbabul Muhtar, Marawis dimainkan oleh grup Marawis dari Pasuruan. Setelah direnungkan, maka muncul pemikiran dari pemuda-pemuda keturunan Arab di Pasar Kliwon sendiri yang memainkan. Karena Haul dilaksanakan di Pasar Kliwon Solo. Marawis menjadi identitas orang-orang keturunan Arab di Surakarta.
Tradisi Marawis pada perkembangannya dipentaskan dalam majelis-majelis seperti Maulid Nabi, Haul, dan pesta pernikahan. Selain digunakan untuk berdakwah, Marawis juga berfungsi untuk menarik masyarakat sekitar untuk datang ke dalam majelis ilmu yang akan disampaikan dalam acara tersebut. Pementasannya meliputi:
Pembukaan yang diawali dengan ucapan salam.
Inti yaitu pemain mulai meniup sulingnya sebagai tanda dimulainya Marawis dan setelah itu Mirwas (Marawis) dipukul. Maka tarian Zapin mulai dimainkan.
Penutup.
Tradisi Marawis di Pasar Kliwon membawa dampak bagi masyarakat sekitar dalam berbagai bidang, yaitu
Bidang Kebudayaan, tradisi Marawis merupakan wujud pelestarian nilai-nilai budaya, didalamnya terdapat cabang seni, sehingga dapat memotivasi masyarakat untuk memupuk dan melestarikan berbagai keterampilan seni.
Kehidupan Keagamaan, bagi pemain akan terbiasa untuk menerapkan adat-adat yang sesuai ajaran syariat Islam. Sebagai pendakwah, pemain Marawis menjadi teladan yang akan ditiru oleh masyarakat, pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk kesalehan normative terhadap Islam. Bagi masyarakat, kesediaan untuk menyaksikan Marawis dalam majelis ilmu berpengaruh terhadap pemikiran dan tingkah laku masyarakat, karena didalam majelis itu disampaikan pesan-pesan dan ajaran Islam. Setelah mendengar dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dengan sendirinya akan melaksanakan perintah dari Allah dan menjauhi perbuatan yang dilarang sesuai ajaran Islam. Sehingga hal ini mewujudkan kesalehan masyarakat.
Kehidupan Sosial, tradisi Marawis merupakan sarana atau wadah silaturahim bagi masyarakat keturunan Arab untuk saling bertemu, berkumpul, dan saling mengenal antara anggota komunitas, serta memahami keberadaan mereka sebagai komunitas yang hidup saling tolong menolong dan berinteraksi antar individu, antar komunitas satu dengan yang lainya. Selain itu juga merupakan undangan untuk masyarakat sekitar untuk menghadiri majelis-majelis ilmu yang akan disampaikan oleh para Ulama.
Tak hanya tradisi Marawis, ada juga tradisi yang sangat erat kaitannya dengan tradisi Marawis, dimana ada Marawis ada pula tradisi ini. Tradisi ini terkenal disebut sebagai Tari Zapin. Tari ini berasal dari Negara Yaman. Arti dari Zapin menurut masyarakat Arab di Pasar Kliwon adalah tarian selamat datang. Zapin masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia yang dibawaa oleh para pedagang Arab. Zapi tertua di Indonesia berada di Ambon, Nusa Tenggara, Flores, dan pulau-pulau Ternate.
Zapin adalah sejenis tarian yang pada dasarnya merupakan bentuk permainan menggunakan kaki yang semula hanya dimainkan oleh laki-laki bangsa Arab. Dulunya, Zapin adalah tarian hiburan di kalangan raja-raja setelah dibawa dari Yaman pada awal abad ke-16. Tarian ini bersifat edukatif dan sekaligus menghibur dan digunakan juga sebagai media dakwah Islamiyah seperti halnya Marawis melalui syair-syair lagu Zapin yang didendangkan.
Sebelum tahun 1960, Zapin hanya ditarikan oleh penari laki-laki. Namun kini sudah biasa ditarikan oleh penari perempuan bahkan penari campuran antara perempuan dan laki-laki. Di Indonesia, Zapin dikenal dalam dua jenis, yaitu Zapin Arab yang mengalami perubahan secara lamban, dan masih dipertahankan oleh masyarakat keturunan Arab. Jenis kedua adalah Zapin Melayu yang ditumbuhkan oleh para ahli local, dan disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Kalau Zapin Arab hanya dikenal satu gaya saja sedaangkan tari Zapin Melayu sangat beragam dalam gayanya. Begitu pula sebutan untuk tari tersebut tergantung dari bahasa atau dialek lokal dimana tari tersebut tumbuh dan berkembang.
Jadi, masyarakat Arab di Pasar Kliwon masih banyak yang mempertahankan kebudayaan-kebudayaan dari leluhurnya. Ada yang masih sangat kental dan mempertahankan norma-norma atau adat-adat yang sederhana, ada yang hanya mempertahankan tradisi yang terbilang penting. Tetapi banyak juga yang sudah menerima perkembangan kehidupan dari lingkungan sekitarnya semisal cara berpakaian, cara berpakaian kaum wanita Arab itu selalu memakai gamis, sedangkan di Pasar Kliwon kita mulai jarang menjumpai wanita yang memakai gamis. Kebanyakan dari mereka sudah mulai memakai pakaian-pakaian seperti kaum wanita di Indonesia pada umumnya.
Kita akan tetap menjumpai tradisi-tradisi dari nenek moyang Arab jika berkunjung ke Pasar Kliwon. Ketika kita berkunjung kesana akan tetap bisa merasakan euforia ke-Arab-arab-an. Karena walaupun sudah berkembang mengikuti peradaban, tetapi tetap saja ada nilai-nilai yang khas dari Pasar Kliwon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar